Thursday, May 22, 2008

The Development of Local Journalism in Aceh Post Tsunami and its Implication for the Welfare of Acehnese People

The earthquake and tsunami which happened in Aceh December 26 2004 was the biggest disaster which happened in the early of 21st century. Thousands of people were died, most infrastructure were ruined, and the role of local government (Pemda) wasn’t functioned. In the meantime, the ability to produce news from local media e.g Serambi Indonesia, Kontras, and radio stations also paralyzed. For few weeks tsunami caused Aceh be like “the death city”.

Soon after that disaster many aids came from all of the world. Materials, drugs, vehicles, also money were given from countries, foundations, or personal to Acehnese people. Aceh was rebuilding better and faster. Almost four years after tsunami, now Aceh look better. Many new infrastructures are rebuilded; school, road, hospital, and much more.

With donations from all of the world, Aceh rebuild all sector include also media. Media is the most important things in the process of rebuild Aceh. With media, the disaster in Aceh be separated to the world soonly. Media also awakening the awareness of Acehnese people to rebuild their own region with their own hand. After tsunami, in supported by local or foreign donaturs the local journalism in Aceh was developing quickly and vary. Many of them focus in news, politic, and gender such as Harian Aceh (daily news), Sipil (two weeks newspaper), Bungong (two weeks magazine), Aceh Independent (monthly magazine), Aceh News (two monthly magazine), Get (girls magazine), and etc.

Further is interesting to know that is there correlation between the development of local journalism with the welfare of Acehnese people. And with assumption the local journalism working only by supported from donatur; are they still exist if there is no donatur anymore.

Media such as local journalism in one hand is needeed in awakening the awareness of people and in other hand as social control of government policy. But media also need their own independency to guarantee they can achieve their aim is working for the sake of people.

Wednesday, May 21, 2008

Skenario Aceh Pasca BRR

“Kinerja BRR menurut hemat penulis

haruslah dilihat dari kacamata objektifitas”.


Jika tidak ada aral melintang maka pada April 2009 BRR NAD-Nias akan mengakhiri masa tugasnya. BRR adalah lembaga ad-hoc yang dibentuk berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2005. BRR dibentuk guna menyahuti “ketidakberdayaan” Pemerintah Daerah Aceh (Pemda) dalam hal melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketidakberdayaan Pemda pada masa tersebut bukan disebabkan oleh kurangnya kompetensi maupun sumber daya yang dimiliki melainkan lebih karena Pemda sendiri turut menjadi korban yang dalam hal ini juga memerlukan bantuan dan pemberdayaan.

Kini empat tahun sudah usia BRR. Dalam rentang waktu tersebut tentunya banyak hal yang sudah dilakukannya. Banyak bukannya berarti tanpa masalah. Penulis pada kesempatan ini tidak berada pada garis perdebatan apakah BRR layak mendapat pujian ataukah harusnya diberi hukuman. Kinerja BRR menurut hemat penulis haruslah dilihat dari kacamata objektifitas. Bahwa memang benar banyak proyek BRR yang hasilnya buruk namun tidak benar pula bahwa semua proyek BRR gagal total.

Tidak salah jika dengan buruknya kualitas proyek yang dibangun banyak pihak yang kemudian mencela, mencibir, dan bahkan sampai mengarahkan “pocong” ke kantor BRR. Gaji dan fasilitas yang diterima para karyawannya dinilai tidak sebanding dengan kualitas dan kuantitas kerjanya. Namun dalam seminar sehari yang diadakan oleh Aceh Justice Resource Centre (AJRC) tentang Proses Transisi BRR NAD-Nias dan Implikasinya Terhadap Masa Depan Aceh beberapa waktu yang lalu, Edi Purwanto, Deputi Operasional BRR menyampaikan bahwa untuk pembangunan perumahan sebanyak 90% sudah dilaksanakan oleh kontraktor lokal, sementara untuk pembangunan infrastruktur sudah sekitar 65%. Hal ini menurut beliau merupakan bentuk keberpihakan BRR pada kontraktor lokal namun jika kemudian kualitas yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan maka menarik untuk kembali mempertanyakan siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan.

Terlepas dari perdebatan untuk mencari kambing siapa yang paling hitam, menurut penulis penting bagi kita untuk melihat bagaimana estafet pembangunan Aceh pasca berakhirnya BRR. BRR dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya merupakan lembaga besar yang melakukan kerja-kerja besar dan oleh sebab itu siapapun yang akan melanjutkan estafet kerjanya haruslah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Dalam diskusi yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 8 Mei 2008 tersebut penulis merangkum ada empat hal yang kemungkinan terjadi pasca berakhirnya masa kerja BRR. Pertama, memperpanjang masa kerja BRR. Mengingat dan melihat kinerja Pemda yang sekarang maka opsi ini sangat tidak mungkin terjadi. BRR dibentuk pada saat itu lebih karena ketidaksiapan Pemda untuk segera merecovery daerah pasca bencana. Mengingat dasar pembentukan BRR sudah tidak ada dan ditambah lagi bahwa kinerja Pemda kini telah normal seperti sedia kala maka alasan untuk memperpanjang masa kerja BRR gugur dengan sendirinya.

Kedua, diambil alih sepenuhnya oleh Pemda. Mengenai opsi ini timbul pertanyaan dan perdebatan. Apakah benar bahwa Pemda kita telah siap menerima estafet pembangunan dengan seluruh perangkat dan mentalitas kerjanya. Penting untuk diketahui bahwa kesiapan Pemda bukan hanya dilihat dari sisi formalnya saja (SKPD, jumlah pegawai) namun yang lebih penting adalah sisi substansinya (mentalitas kerja). Sampai hampir memasuki kuartal kedua tahun ini sebanyak 8.9 Triliun Rupiah Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sebagai mesin pembangunan (machine delivery) daerah belum kunjung usai juga untuk disahkan. Bandingkan dengan BRR yang machine delivery nya sebesar 8.7 Triliun Rupiah pada tahun 2007. Pada saat yang sama Pemda dituntut untuk memikirkan RAPBA tahun 2009 dan harus mengelola limpahan dana dari BRR sebesar 3.9 Triliun Rupiah yang akan dikucurkan pada tahun 2009. Mengingat limpahan dana dari BRR tersebut adalah dana APBN yang jika tidak terserap ia harus dikembalikan kepada negara maka Pemda dalam hal ini juga dituntut untuk memberikan perhatian lebih dalam penggunaannya. Hal-hal seperti inilah yang menurut penulis membuat penyataan Wagub, Muhammad Nazar bahwa Pemda telah siap menerima estafet kerja BRR patut kembali dipertanyakan.

Adapun pilihan skenario yang Ketiga adalah membentuk Badan Keberlanjutan Kerja Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BKK-RR). Mengenai hal ini Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengatakan bahwa insititusi ini nantinya akan bekerja layaknya BRR namun bedanya ialah bahwa jika BRR dibentuk berdasarkan UU dan harus bertanggung jawab kepada Presiden maka BKK-RR cukup dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur saja. Namun patut dipertanyakan dasar ontologis dan ratio-legis (tujuan/alasan hukum) pembentukan BKK-RR yang hanya dengan instrumen Keputusan Gubernur. Apakah pembentukan BKK-RR yang hanya dengan Keputusan Gubernur dinilai cukup mendapat legitimasi hukum yang kuat. Menurut dasar pembentukannya, Keputusan Gubernur hanya mencakup hal-hal yang bersifat teknis dan merupakan limpahan dari peraturan diatasnya bukan berupa public-policy baru yang sifatnya strategis dan vital. Patut pula dipertanyakan siapa dan bagaimana proses rekrutmennya. Apakah institusi tersebut nantinya tidak akan melakukan kerja yang tumpang tindih dengan perangkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada.

Keempat, pembentukan task force (tim kerja) yang berasal dari BRR. Task force tersebut merupakan pegawai Pemda yang selama ini bekerja di BRR dan dinilai memiliki reputasi kerja yang sangat baik. Team inilah yang nantinya akan membantu kinerja SKPD sesuai dengan pengalaman dan bidang kerjanya masing-masing. Sistem seperti ini memiliki beberapa keunggulan selain mereka mengetahui pasti apa yang akan dikerjakan karena selama ini bekerja di BRR mereka ini nota bene nya adalah pegawai Pemda yang setelah BRR berakhir juga akan kembali bekerja ke Pemda.

Namun dari keempat kemungkinan skenario di atas yang paling penting adalah apapun keputusan yang akan diambil diharapkan benar-benar telah melalui tahapan proses berpikir yang matang dan objektif serta bersandarkan sepenuhnya kepada semangat untuk membangun Aceh agar lebih baik di masa depan.