Friday, November 23, 2007

Mari Berpikir Kritis

Suatu hari seperti hari-hari yang sebelumnya dosen tidak datang mengajar. Mahasiswa yang jumlahnya puluhan bahkan kadangkala sampai ratusan hanya bisa duduk bergerombol, ngegosip, tebar pesona, dan “diam”. Kalaupun ada yang protes sifatnya infiradhi-hanya di dalam hati selebihnya memilih opsi “bungkam”, “lumayan dosen tidak masuk” ujar kebanyakan ... Padahal uang kuliah tidak pernah tidak dibayarkan, datangnya 15 menit sebelum perkuliahan, naik robur bayar dan himpit-himpitan namun mahasiswanya hanya bisa “diam”... SPP yang jadi kewajiban sudah dibayarkan namun hak untuk mendapatkan pengajaran dari dosen tidak diberikan tapi mahasiswanya hanya bisa “diam”. Aneh . . .

Di hari yang lain seperti hari-hari sebelumnya mahasiswa bersangkutan tidak masuk kuliah. Padahal uang bulanan dari kampung tidak pernah telat diberikan. Uang yang berasal dari jerih payah keringat orang tua hasil perjuangan satu bulan disia-siakan. Hak telah didapatkan tetapi kewajiban untuk menuntut ilmu dan mengabulkan cita-cita orang tua dengan masuk kuliah dan belajar keras di nomor 32 kan. Aneh . . .

Itulah sekelumit gambaran kehidupan sehari-hari yang tampak di hampir setiap pojok kampus. Anehnya pemandangan itu seakan biasa dan menjadi hal lumrah. Hak diambil kewajiban ditinggalkan. Terjadi di kampus yang dosennya getol sekali bicara keadilan, bicara diatas hak ada kewajiban. Kampus dimana mahasiswanya doyan aksi menuntut keadilan. Tetapi anehnya mereka seakan lupa kepada diri sendiri bahwa ketidakadilan itu ada di lingkungan dan di diri mereka sendiri. Mari kritis kepada diri sendiri !

Rendahnya Tridharma Potret Buramnya Budaya Berpikir Kritis

Kampus dapat “HIDUP” dan mampu untuk bertranformasi hasil dari Tridharma perguruan tinggi yang dijalankan secara seimbang dan saling terintegritas. Bukan secara parsial atau berat sebelah artinya bukan hanya mengedepankan pendidikan tetapi melupakan penelitian dan pengabdian ataupun sebaliknya keasyikan meneliti melupakan pendidikan dan pengabdian. Namun kampus kini hanya “hidup” sampai pukul 2 siang, “beruntung” ada kebijakan program ekstensi sehingga masa “hidup” kampus diperpanjang untuk beberapa jam. Tapi itu bukan kehidupan kampus yang sesungguhnya. Kampus didirikan bukan hanya untuk memberi kuliah di dalam kelas setelah itu pulang. Seyogyianya proses Tridharma perguruan tinggi dijalankan siang dan malam, pagi dan sore, di dalam kelas maupun di luar kelas baik oleh dosen, oleh mahasiswa maupun secara kolektif antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa butuh bimbingan dan wejangan sementara dosen butuh partner kerja. Penelitiannya tidak akan efektif kalau dijalankan sendirian sebab dia harus mengerjakan tugas rutin dan banyak tugas-tugas lainnya. Penelitian juga menjadi kesempatan bagi dosen untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan pengalaman (sebagai salah satu bentuk pengabdiannya). Proses itu seyogyianya dilakukan secara kontinu, konsisten selama hayat masih di kandung badan. Dengan demikian barulah kita bisa memberikan arti bagi tubuh masyarakat Aceh. Sehingga semboyan Jantong Hatee Rakyat Aceh layak untuk kita sandang. Kini coba tanyakan pada dosen dan mahasiswanya berapa banyak penelitian dan karya yang dihasilkan dalam setahun. Belum lagi ditanyakan apakah penelitian tersebut dibuat karena benar-benar dirasakan sebagai kewajiban atau hanya berdasarkan pesanan. Berapa banyak pula pengabdian yang telah dilakukan. Pengabdian luar dan dalam. Pengabdian dosen kepada almamaternya dengan menunjukkan komitmen kuat untuk mengajar. Pengabdian mahasiswa kepada masyarakat dan sesama mahasiswa. Ironisnya mahasiswa dan dosennya sama-sama sering berjumpa nyambi di proyek BRR, NGO lokal, nasional dan internasional. Bukannya proyek penelitian dikampusnya atau belajar bersama di ruang kelas. Itulah potret keseharian kita kini. Semua itu seakan sudah dari sononya, ikhlas diterima tanpa ada pikiran kritis terhadapnya apalagi upaya untuk mengatasinya. Kampus sedemikian tidak ubahnya play group, kindergarten, taman kanak-kanak. Buka pagi. . pulang siang. Tidak ada diskusi, tidak ada inovasi. Mahasiswa tidak boleh banyak tanya, tidak ada “perang” akademik, yang ada hanya dikte, catat, “diam” kemudian pulang. Kampus kini gersang padahal musim penghujan sedang datang. Kalau dengan budaya konvensional, budaya ya memang sudah kayak gini (taken for granted) kapan kita bisa maju seperti kampus-kampus lain yang sudah lebih dulu maju .. ? Di dalam negeri kita punya UI, ITB, Unpad, UGM, Unair sebagai rujukan. Di luar negeri ada NUS, IIUM, UKM, Harvard, Okford, McGill sebagian kecil universitas yang dapat kita jadikan acuan. Kalau kita ingin maju seperti mereka kalau bahasanya Pak Rektor ingin menjadi yang terkemuka di Asia Tenggara sederhananya maka kita harus lakukan apa yang dosen, mahasiswa disana telah lakukan. Mereka tidak hanya “diam” kalau dosennya enggak datang. Dosennya malu kalau bolos kuliah. Mereka secara swadaya maupun bersama-sama melakukan penelitian dan pengabdian. Mereka kerja keras, belajar keras siang dan malam. Meminjam adagium latin:

Ad astra per aspera

(Sampai ke bintang dengan jerih payah)

Pertanyaan, saran, dan kritikan dapat ditujukan ke: de.atjeher@yahoo.com

atau bisa menjumpai dan berdikusi langsung dengan yang bersangkutan di kampusnya.

Kalau kita maunya dengan yang begini-begini saja ya sudah kita akan terus begini. Kita akan menjadi manusia primitif yang tidak akan pernah sampai ke pintu kemajuan. Perubahan hanya bisa dilakukan kalau kita mengedepankan budaya berpikir kritis. Berpikir kritis membutuhkan syarat keberanian untuk merubah diri kearah yang lebih maju-progresif. Dasar berpikir kritis adalah selalu mempertanyakan (inquisitive minds). Berpikir kritis merupakan kebutuhan kita untuk mengembangkan diri. Kritislah kepada pemerintah, kritislah kepada lingkungan kita. Mahasiwa kritis kepada dosennya. Dosen kritis kepada mahasiswa. Tetapi dari semua itu yang terpenting jangan lupa untuk kritis pada diri sendiri. Sudahkah kita berpikir kritis . . ?

SP Instan Unsyiah: Kuliah Jadi Ajang Pembodohan

Artikel ini didasari atas sikap depth sense of crisis terhadap sistem pendidikan Unsyiah yang secara formal selalu didengungkan sebagai Jantong Hatee Rakyat Atjeh namun tulisan ini memperlihatkan sekelumit kenyataan bagaimana perlakuan kontraproduktif yang diterimanya.

U


nsyiah seakan mau mencatatkan dirinya di Museum Rekor Indonesia (MURI). Tercatat sebagai institusi pendidikan tinggi negeri yang paling cepat sekaligus paling banyak meluluskan mahasiswanya. Hal ini terlihat dari kebijakan Rektor dan teman-teman pejabat akademiknya tentang pelaksanaan Semester Pendek 2006/2007. Dari kebijakan tersebut memungkinkan mahasiswa mengambil mata kuliah yang biasanya harus diselesaikan dalam tempo 6 bulan (1 semester reguler) dan harus diambil dalam semester berjalan namun kini dapat diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya hanya dalam tempo 1 (satu) bulan saja tanpa harus pernah mengambil mata kuliah bersangkutan sebelumnya. Sistem tersebut dikenal dengan istilah Semester Pendek-selanjutnya disingkat SP. Ketentuan mengenai SP sebenarnya lebih merupakan sebuah kebijakan institusi bersangkutan dalam rangka melaksanakan pendidikan yang efektif dan efisien namun bukan berarti instan. Di Unsyiah preseden mengenai kebijakan SP sebelumnya menentukan bahwa mata kuliah yang dapat diambil di semester pendek hanyalah mata kuliah yang telah pernah diambil. Mahasiswa mengikuti mata kuliah SP hanya dan untuk dalam rangka perbaikan nilai bukan untuk instanisasi masa studi. Artinya dalam SP mahasiswa tidak diperbolehkan mengambil mata kuliah di depan. Semester pendek dijalankan guna membantu mahasiswa yang mungkin sewaktu mengambil mata kuliah bersangkutan di semester reguler mendapatkan hambatan, masalah ataupun memiliki banyak kesibukan yang menyebabkan kuliahnya terbengkalai akibatnya nilai akhirnya tidak memuaskan. Seringkali karena alasan sakit, banyak kegiatan internal/eksternal kampus ataupun karena ketiduran sehingga ada mahasiswa yang tidak ikut final test sehingga mendapat nilai akhir sisir (E). Atas dasar ini dan varian dari hal tersebutlah mengapa SP itu dimungkinkan untuk dilaksanakan. Sekali lagi ditekankan bahwa pelaksanaan SP adalah dalam rangka perbaikan nilai-kalau istilah mahasiswa pendalaman materi dan bukan untuk membuat kuliah jadi INSTAN. Tetapi dalam tahun ajaran 2006/2007 ini Unsyiah melalui Rektornya yang notabene orang pendidikan dan MANTAN PR I yang membidangi pendidikan membuat kebijakan yang kontroversial, inkonstitusional sekaligus cacat moral.

Kontroversial dikarenakan Rektor pasti tahu bagaimana seharusnya kebijakan di SP. Bagaimana mungkin ditengah keterpurukan pendidikan Aceh seperti sekarang ini masa studi kuliah malah dikarbitkan seperti layaknya pisang, mangga, maupun durian. Yang pasti bahwa yang namanya karbitan tidak pernah mengenakan. Sesuatu yang belum saatnya matang dipaksakan agar kelihatan matang akibatnya waktu dimakan eukh h h rasanya pahit, asam, asin . . . aneh !!!. Itulah karbitan !!!. Enam bulan pelaksanaan semester reguler dipaksakan ditelan dalam satu bulan. Kelihatan secara formal mahasiswanya mampu karena dapat nilai A, B, C ada juga seh yang dapat D atau bahkan E tetapi secara substansial eukh h h rasanya enggak enak-mahasiswa enggak siap pakai di dunia nyata.

PEMBODOHAN a.n PENDIDIKAN

Enam bulan pelaksanaan kuliah semester reguler sajapun dengan realita dimana perkuliahan sering bolong-dengan berbagai faktor penyebab menyebabkan mahasiswa belum secara optimal mendapatkan pengetahuan dan hak-hak pendidikannya bagaimana pula dengan masa studi SP yang hanya satu bulan itu. Emang perkuliahan dianggap pisang. Bukankah ini namanya PEMBODOHAN. Kuliah disamakan dengan pisang inilah PEMBODOHAN paling nyata sepanjang sejarah perjalanan panjang Unsyiah. PEMBODOHAN sedang terjadi Jantong Hatee Rakyat Atjeh. Inilah yang saya sebut dengan kontraproduktif kebijakan terhadap Unsyiah. Kebijakan Rektor mengenai SP tahun ini dimana mahasiswa diperkenankan mengambil mata kuliah di semester depan yang belum pernah diambilnya sebelumnya jelas-jelas menciderai conditio sine qua non dalam dunia pendidikan. Kita semua mahfum bahwa pendidikan itu perlu waktu, biaya dan tenaga. Pendidikan yang berhasil butuh kerja keras dan ketekunan. Namun sekarang Rektor dengan arogan seakan-akan ingin menolak tesis alam dunia pendidikan. Rektor seakan menjadi mahluk hipokrit. Rektor telah menciderai semboyannya sendiri. Mewujudkan pendidikan yang membumi dan melangit. Bagaimana mungkin kita bisa memijak bumi jika kuliah enam bulan dikarbit jadi 1 bulan. Bagaimana pula kita bisa menembus langit jika ilmu tersebut diberikan secara instan. Padahal dia adalah seorang Rektor yang tidak INSTAN. Menjadi Rektor butuh waktu, biaya dan tenaga. Menjadi mahasiswa maupun alumnus mahasiswa juga butuh waktu, biaya dan tenaga. Pendidikan kita butuh proses-butuh waktu. Pendidikan tidak bisa INSTAN layaknya mie instan yang tinggal seduh air panas tunggu beberapa menit langsung hap - disantap. Rektor dan teman-teman pejabat-pejabat akademiknya tahu betul itu. Tetapi kenapa mereka tetap ngotot mengeluarkan kebijakan itu.

UJUNG-UJUNGNYA UANG

Biaya uang kuliah semester pendek tahun ini naik tajam dari tahun sebelumnya. Sebelumnya 1 sks SP ditebus mahasiswa sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sementara untuk tahun ini untuk 1 (satu) sks harus ditebus mahasiswa sebesar Rp. 60.000,00 (enam puluh ribu rupiah) berarti naik 130 %. Amazing!!! Unsyiah masuk MURI lagi karena memecahkan rekor kenaikan uang SP tertinggi di Indonesia. Padahal Semester Pendek itu sendiri hanya dilaksanakan 1 (satu) bulan dengan durasi 8x pertemuan untuk satu mata kuliah yang bobotnya 2 sks. Jadi enam bulan kuliah dalam satu semester untuk satu mata kuliah digadaikan dengan UANG RP. 60.000,00 (ENAM PULUH RIBU RUPIAH) dalam Semester Pendek. Benar-benar karena UANG.

SELAMAT ATAS LAHIRNYA NARROW MINDED STUDENTS

Secara ontologis sebenarnya skenario pendidikan seperti itu benar-benar tidak mencerdaskan mahasiswa malah sebaliknya membodohi. Dengan sistem SP seperti ini mahasiswa dipaksa hanya pintar secara formal bukan substansial. Mahasiswa digiring untuk berpikir pragmatis, secepatnya selesai kuliah dengan Magna Cumlaude, benar-benar dikondisikan pure conventional study oriented singkatnya be narrow minded student-diciptakan menjadi mahasiswa yang berpikiran sempit. Pikiran mahasiswa cuma dijejali dengan nilai bagus, IPK tinggi, cumlaude, dan segera wisuda. Setiap harinya mahasiswa dihantui oleh semua itu dan seakan ingin segera keluar dari nightmare itu mereka pun dengan nurut, manut bayar SP kuliah instan yang walaupun mahal yang penting bayar tetapi apa yang didapat entah . . . Alasan yang disodorkan kenapa sistem SP seperti ini dibuat semata-mata agar beban negara berkurang karena mahasiswa cepat selesai dan/atau manusia-manusia lain dapat mengenyam bangku perkuliahan juga. Dengan alasan yang kesannya dibuat-buat itu mahasiswa ”diusir” dari kampusnya. Nah kalau sudah seperti itu maka mahasiswa juga balik bertanya kita mau lulus cepat namun tidak berkualitas atau lulus standar namun high skill. Setiap mahasiswa mempunyai hak yang sama untuk menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya. Bukankah pula merupakan kewajiban negara untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan sesuai amanah konstitusi. Please . . . mahasiswa jangan lagi dibodohi.

AUTOKRITIK BUAT KITA SEMUA

Mahasiswa pergi kuliah guna menuntut ilmu dan mereka berproses terhadap keilmuannya that takes time-butuh waktu. Terlebih bagi mahasiswa yang mendalami studi terapan dan butuh praktikum automatically mereka membutuhkan waktu yang lebih banyak. Dosen yang mengajar juga memahami bahwa merupakan mission impossible untuk memberikan materi kuliah yang begitu kompleks hanya dalam waktu satu bulan. Rektor, PR I, Dekan, PD I dan siapapun pejabat kampus yang telah melahirkan kebijakan canibal seperti ini harus berani dikritik dan meminta maaf kepada rakyat Aceh karena telah membuat sakitnya Jantong Hatee Rakyat Atjeh semakin parah. Akibat kanibalisme pendidikan yang seperti itu membuat sakitnya Jantong Hatee Rakyat Atjeh semakin parah. Tetapi dibutuhkan perenungan mendalam serta sikap kritis, tajam, dan jujur guna dapat menjalankan prinsip autokritik tersebut.