Monday, August 31, 2009

Ternyata Ada 1 Fungsi Pendidikan Kita yang Belum Berjalan

Melaksanakan tarawih di bulan Ramadhan ternyata mempunyai keuntungan ganda.
Selain dapat menjalankan ibadah, kita juga berkesempatan mendapatkan ceramah yang bermanfaat.
Pada malam keenam tarawih di Mesjid Agung Al Azhar Jakarta Selatan, penulis berkesempatan mendengarkan ceramah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Qomari Anwar, MA.

Beliau menjelaskan ada tiga fungsi pendidikan, yaitu:

1. Transfer of knowledge
Artinya adalah proses berpindahnya ilmu pengetahuan dari guru kepada anak didiknya. Di Indonesia hal ini berjalan dengan baik. Ditandai dengan berhasilnya siswa/i Indonesia keluar sebagai pemenang pada berbagai tingkat kompetisi internasional. Dalam berbagai bidang
keilmuan yang mereka geluti, para siswa/i tersebut berhasil menjuarai olimpiade fisika, biologi, matematika dan berbagai kompetisi internasional lainnya.
Sungguh suatu prestasi yang mengharumkan nama bangsa.

2. Developing skills
Fungsi pendidikan yang kedua adalah mempersiapkan para anak didik dengan berbagai keterampilan. Tidak hanya di sekolah kejuruan (vocational), sekolah-sekolah umum yang lain pun telah lama memasukkan berbagai mata ajaran yang menekankan pada aspek peningkatan skill semisal komputer, bahasa, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar pada saat nanti beraktivitas di masyarakat, mereka bisa berperan optimal dan siap berkompetisi dengan sehat baik di tingkat lokal, regional atau bahkan global.

3. Transfer of values
Bagaimana dengan fungsi yang ketiga ini. Menurut beliau sistem pendidikan kita saat ini belum berhasil melaksanakan aspek yang terakhir ini.
Kita memang membutuhkan generasi muda yang pintar, menguasai bidang keilmuannya dan memiliki skill yang cukup sehingga siap menghadapi kompetisi global. Namun ironinya, karena penyampaian nilai-nilai (transfer of values) yang tidak berjalan maka hasil yang terdapat dalam setiap pelajaran tidak lebih hanyalah menjadi angka-angka yang tidak mempunyai makna. Pelajaran-pelajaran agama, moral, kebangsaan dan pelajaran lainnya memang dapat dijawab dengan baik oleh para siswa dan nilainya pun bahkan nyaris sempurna. Namun, di sisi lain tingkat kekerasan, seksual dan tawuran persentasenya juga tidak kalah bagusnya.

Berdasarkan hasil survei Komnas Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 memperlihatkan bahwa sebanyak 93,7 persen remaja sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat. Yang lebih menyeramkan lagi, 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi.
Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Hasil yang tentu saja menyesakkan dada setiap orang tua.

Para murid mengetahui bahwa menghormati orang tua itu wajib hukumnya, melaksanakan sholat tahajud besar manfaatnya, dan berbuat dosa akan diganjar neraka. Pengetahuan sebagai ilmu berhasil disampaikan namun pengetahuan sebagai nilai (virtues) gagal diberikan.
Ternyata keberhasilan mentransfer pengetahuan tidak dibarengi dengan proses mentransfer nilainya.

Fakta di atas memperlihatkan bahwa fungsi pendidikan kita masih parsial, lebih menekankan pada dua aspek pertama namun cenderung melupakan aspek yang ketiga.

Menurut hemat penulis, fungsi transfer of values dapat dimulai dari rumah-rumah setiap keluarga dan dari orang-orang yang ingin membangun rumah tangga. Bagi yang sudah berkeluarga, harus dipastikan betul bahwa orang tua telah memberikan contoh mengenai
cara-cara berprilaku yang baik dan santun. Sementara bagi yang ingin berkeluarga, pastikan bahwa pasangan anda benar-benar mempunyai komitmen untuk membangun keluarga yang penuh dengan nilai-nilai Ilahiyah. Keluarga bukan hanya menyangkut hubungan antara dua insan yang berbeda. Keluarga adalah cerminan kehidupan dan kemajuan bangsa dan lebih dari itu berkeluarga berarti beribadah.

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi saudara-saudaraku yang menjalankannya. :-)

Thursday, May 22, 2008

The Development of Local Journalism in Aceh Post Tsunami and its Implication for the Welfare of Acehnese People

The earthquake and tsunami which happened in Aceh December 26 2004 was the biggest disaster which happened in the early of 21st century. Thousands of people were died, most infrastructure were ruined, and the role of local government (Pemda) wasn’t functioned. In the meantime, the ability to produce news from local media e.g Serambi Indonesia, Kontras, and radio stations also paralyzed. For few weeks tsunami caused Aceh be like “the death city”.

Soon after that disaster many aids came from all of the world. Materials, drugs, vehicles, also money were given from countries, foundations, or personal to Acehnese people. Aceh was rebuilding better and faster. Almost four years after tsunami, now Aceh look better. Many new infrastructures are rebuilded; school, road, hospital, and much more.

With donations from all of the world, Aceh rebuild all sector include also media. Media is the most important things in the process of rebuild Aceh. With media, the disaster in Aceh be separated to the world soonly. Media also awakening the awareness of Acehnese people to rebuild their own region with their own hand. After tsunami, in supported by local or foreign donaturs the local journalism in Aceh was developing quickly and vary. Many of them focus in news, politic, and gender such as Harian Aceh (daily news), Sipil (two weeks newspaper), Bungong (two weeks magazine), Aceh Independent (monthly magazine), Aceh News (two monthly magazine), Get (girls magazine), and etc.

Further is interesting to know that is there correlation between the development of local journalism with the welfare of Acehnese people. And with assumption the local journalism working only by supported from donatur; are they still exist if there is no donatur anymore.

Media such as local journalism in one hand is needeed in awakening the awareness of people and in other hand as social control of government policy. But media also need their own independency to guarantee they can achieve their aim is working for the sake of people.

Wednesday, May 21, 2008

Skenario Aceh Pasca BRR

“Kinerja BRR menurut hemat penulis

haruslah dilihat dari kacamata objektifitas”.


Jika tidak ada aral melintang maka pada April 2009 BRR NAD-Nias akan mengakhiri masa tugasnya. BRR adalah lembaga ad-hoc yang dibentuk berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2005 yang kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 10 Tahun 2005. BRR dibentuk guna menyahuti “ketidakberdayaan” Pemerintah Daerah Aceh (Pemda) dalam hal melaksanakan program rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketidakberdayaan Pemda pada masa tersebut bukan disebabkan oleh kurangnya kompetensi maupun sumber daya yang dimiliki melainkan lebih karena Pemda sendiri turut menjadi korban yang dalam hal ini juga memerlukan bantuan dan pemberdayaan.

Kini empat tahun sudah usia BRR. Dalam rentang waktu tersebut tentunya banyak hal yang sudah dilakukannya. Banyak bukannya berarti tanpa masalah. Penulis pada kesempatan ini tidak berada pada garis perdebatan apakah BRR layak mendapat pujian ataukah harusnya diberi hukuman. Kinerja BRR menurut hemat penulis haruslah dilihat dari kacamata objektifitas. Bahwa memang benar banyak proyek BRR yang hasilnya buruk namun tidak benar pula bahwa semua proyek BRR gagal total.

Tidak salah jika dengan buruknya kualitas proyek yang dibangun banyak pihak yang kemudian mencela, mencibir, dan bahkan sampai mengarahkan “pocong” ke kantor BRR. Gaji dan fasilitas yang diterima para karyawannya dinilai tidak sebanding dengan kualitas dan kuantitas kerjanya. Namun dalam seminar sehari yang diadakan oleh Aceh Justice Resource Centre (AJRC) tentang Proses Transisi BRR NAD-Nias dan Implikasinya Terhadap Masa Depan Aceh beberapa waktu yang lalu, Edi Purwanto, Deputi Operasional BRR menyampaikan bahwa untuk pembangunan perumahan sebanyak 90% sudah dilaksanakan oleh kontraktor lokal, sementara untuk pembangunan infrastruktur sudah sekitar 65%. Hal ini menurut beliau merupakan bentuk keberpihakan BRR pada kontraktor lokal namun jika kemudian kualitas yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan maka menarik untuk kembali mempertanyakan siapa yang sebenarnya patut dipersalahkan.

Terlepas dari perdebatan untuk mencari kambing siapa yang paling hitam, menurut penulis penting bagi kita untuk melihat bagaimana estafet pembangunan Aceh pasca berakhirnya BRR. BRR dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya merupakan lembaga besar yang melakukan kerja-kerja besar dan oleh sebab itu siapapun yang akan melanjutkan estafet kerjanya haruslah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik mungkin. Dalam diskusi yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 8 Mei 2008 tersebut penulis merangkum ada empat hal yang kemungkinan terjadi pasca berakhirnya masa kerja BRR. Pertama, memperpanjang masa kerja BRR. Mengingat dan melihat kinerja Pemda yang sekarang maka opsi ini sangat tidak mungkin terjadi. BRR dibentuk pada saat itu lebih karena ketidaksiapan Pemda untuk segera merecovery daerah pasca bencana. Mengingat dasar pembentukan BRR sudah tidak ada dan ditambah lagi bahwa kinerja Pemda kini telah normal seperti sedia kala maka alasan untuk memperpanjang masa kerja BRR gugur dengan sendirinya.

Kedua, diambil alih sepenuhnya oleh Pemda. Mengenai opsi ini timbul pertanyaan dan perdebatan. Apakah benar bahwa Pemda kita telah siap menerima estafet pembangunan dengan seluruh perangkat dan mentalitas kerjanya. Penting untuk diketahui bahwa kesiapan Pemda bukan hanya dilihat dari sisi formalnya saja (SKPD, jumlah pegawai) namun yang lebih penting adalah sisi substansinya (mentalitas kerja). Sampai hampir memasuki kuartal kedua tahun ini sebanyak 8.9 Triliun Rupiah Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sebagai mesin pembangunan (machine delivery) daerah belum kunjung usai juga untuk disahkan. Bandingkan dengan BRR yang machine delivery nya sebesar 8.7 Triliun Rupiah pada tahun 2007. Pada saat yang sama Pemda dituntut untuk memikirkan RAPBA tahun 2009 dan harus mengelola limpahan dana dari BRR sebesar 3.9 Triliun Rupiah yang akan dikucurkan pada tahun 2009. Mengingat limpahan dana dari BRR tersebut adalah dana APBN yang jika tidak terserap ia harus dikembalikan kepada negara maka Pemda dalam hal ini juga dituntut untuk memberikan perhatian lebih dalam penggunaannya. Hal-hal seperti inilah yang menurut penulis membuat penyataan Wagub, Muhammad Nazar bahwa Pemda telah siap menerima estafet kerja BRR patut kembali dipertanyakan.

Adapun pilihan skenario yang Ketiga adalah membentuk Badan Keberlanjutan Kerja Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BKK-RR). Mengenai hal ini Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengatakan bahwa insititusi ini nantinya akan bekerja layaknya BRR namun bedanya ialah bahwa jika BRR dibentuk berdasarkan UU dan harus bertanggung jawab kepada Presiden maka BKK-RR cukup dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur saja. Namun patut dipertanyakan dasar ontologis dan ratio-legis (tujuan/alasan hukum) pembentukan BKK-RR yang hanya dengan instrumen Keputusan Gubernur. Apakah pembentukan BKK-RR yang hanya dengan Keputusan Gubernur dinilai cukup mendapat legitimasi hukum yang kuat. Menurut dasar pembentukannya, Keputusan Gubernur hanya mencakup hal-hal yang bersifat teknis dan merupakan limpahan dari peraturan diatasnya bukan berupa public-policy baru yang sifatnya strategis dan vital. Patut pula dipertanyakan siapa dan bagaimana proses rekrutmennya. Apakah institusi tersebut nantinya tidak akan melakukan kerja yang tumpang tindih dengan perangkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada.

Keempat, pembentukan task force (tim kerja) yang berasal dari BRR. Task force tersebut merupakan pegawai Pemda yang selama ini bekerja di BRR dan dinilai memiliki reputasi kerja yang sangat baik. Team inilah yang nantinya akan membantu kinerja SKPD sesuai dengan pengalaman dan bidang kerjanya masing-masing. Sistem seperti ini memiliki beberapa keunggulan selain mereka mengetahui pasti apa yang akan dikerjakan karena selama ini bekerja di BRR mereka ini nota bene nya adalah pegawai Pemda yang setelah BRR berakhir juga akan kembali bekerja ke Pemda.

Namun dari keempat kemungkinan skenario di atas yang paling penting adalah apapun keputusan yang akan diambil diharapkan benar-benar telah melalui tahapan proses berpikir yang matang dan objektif serta bersandarkan sepenuhnya kepada semangat untuk membangun Aceh agar lebih baik di masa depan.

Friday, November 23, 2007

Mari Berpikir Kritis

Suatu hari seperti hari-hari yang sebelumnya dosen tidak datang mengajar. Mahasiswa yang jumlahnya puluhan bahkan kadangkala sampai ratusan hanya bisa duduk bergerombol, ngegosip, tebar pesona, dan “diam”. Kalaupun ada yang protes sifatnya infiradhi-hanya di dalam hati selebihnya memilih opsi “bungkam”, “lumayan dosen tidak masuk” ujar kebanyakan ... Padahal uang kuliah tidak pernah tidak dibayarkan, datangnya 15 menit sebelum perkuliahan, naik robur bayar dan himpit-himpitan namun mahasiswanya hanya bisa “diam”... SPP yang jadi kewajiban sudah dibayarkan namun hak untuk mendapatkan pengajaran dari dosen tidak diberikan tapi mahasiswanya hanya bisa “diam”. Aneh . . .

Di hari yang lain seperti hari-hari sebelumnya mahasiswa bersangkutan tidak masuk kuliah. Padahal uang bulanan dari kampung tidak pernah telat diberikan. Uang yang berasal dari jerih payah keringat orang tua hasil perjuangan satu bulan disia-siakan. Hak telah didapatkan tetapi kewajiban untuk menuntut ilmu dan mengabulkan cita-cita orang tua dengan masuk kuliah dan belajar keras di nomor 32 kan. Aneh . . .

Itulah sekelumit gambaran kehidupan sehari-hari yang tampak di hampir setiap pojok kampus. Anehnya pemandangan itu seakan biasa dan menjadi hal lumrah. Hak diambil kewajiban ditinggalkan. Terjadi di kampus yang dosennya getol sekali bicara keadilan, bicara diatas hak ada kewajiban. Kampus dimana mahasiswanya doyan aksi menuntut keadilan. Tetapi anehnya mereka seakan lupa kepada diri sendiri bahwa ketidakadilan itu ada di lingkungan dan di diri mereka sendiri. Mari kritis kepada diri sendiri !

Rendahnya Tridharma Potret Buramnya Budaya Berpikir Kritis

Kampus dapat “HIDUP” dan mampu untuk bertranformasi hasil dari Tridharma perguruan tinggi yang dijalankan secara seimbang dan saling terintegritas. Bukan secara parsial atau berat sebelah artinya bukan hanya mengedepankan pendidikan tetapi melupakan penelitian dan pengabdian ataupun sebaliknya keasyikan meneliti melupakan pendidikan dan pengabdian. Namun kampus kini hanya “hidup” sampai pukul 2 siang, “beruntung” ada kebijakan program ekstensi sehingga masa “hidup” kampus diperpanjang untuk beberapa jam. Tapi itu bukan kehidupan kampus yang sesungguhnya. Kampus didirikan bukan hanya untuk memberi kuliah di dalam kelas setelah itu pulang. Seyogyianya proses Tridharma perguruan tinggi dijalankan siang dan malam, pagi dan sore, di dalam kelas maupun di luar kelas baik oleh dosen, oleh mahasiswa maupun secara kolektif antara dosen dan mahasiswa. Mahasiswa butuh bimbingan dan wejangan sementara dosen butuh partner kerja. Penelitiannya tidak akan efektif kalau dijalankan sendirian sebab dia harus mengerjakan tugas rutin dan banyak tugas-tugas lainnya. Penelitian juga menjadi kesempatan bagi dosen untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan pengalaman (sebagai salah satu bentuk pengabdiannya). Proses itu seyogyianya dilakukan secara kontinu, konsisten selama hayat masih di kandung badan. Dengan demikian barulah kita bisa memberikan arti bagi tubuh masyarakat Aceh. Sehingga semboyan Jantong Hatee Rakyat Aceh layak untuk kita sandang. Kini coba tanyakan pada dosen dan mahasiswanya berapa banyak penelitian dan karya yang dihasilkan dalam setahun. Belum lagi ditanyakan apakah penelitian tersebut dibuat karena benar-benar dirasakan sebagai kewajiban atau hanya berdasarkan pesanan. Berapa banyak pula pengabdian yang telah dilakukan. Pengabdian luar dan dalam. Pengabdian dosen kepada almamaternya dengan menunjukkan komitmen kuat untuk mengajar. Pengabdian mahasiswa kepada masyarakat dan sesama mahasiswa. Ironisnya mahasiswa dan dosennya sama-sama sering berjumpa nyambi di proyek BRR, NGO lokal, nasional dan internasional. Bukannya proyek penelitian dikampusnya atau belajar bersama di ruang kelas. Itulah potret keseharian kita kini. Semua itu seakan sudah dari sononya, ikhlas diterima tanpa ada pikiran kritis terhadapnya apalagi upaya untuk mengatasinya. Kampus sedemikian tidak ubahnya play group, kindergarten, taman kanak-kanak. Buka pagi. . pulang siang. Tidak ada diskusi, tidak ada inovasi. Mahasiswa tidak boleh banyak tanya, tidak ada “perang” akademik, yang ada hanya dikte, catat, “diam” kemudian pulang. Kampus kini gersang padahal musim penghujan sedang datang. Kalau dengan budaya konvensional, budaya ya memang sudah kayak gini (taken for granted) kapan kita bisa maju seperti kampus-kampus lain yang sudah lebih dulu maju .. ? Di dalam negeri kita punya UI, ITB, Unpad, UGM, Unair sebagai rujukan. Di luar negeri ada NUS, IIUM, UKM, Harvard, Okford, McGill sebagian kecil universitas yang dapat kita jadikan acuan. Kalau kita ingin maju seperti mereka kalau bahasanya Pak Rektor ingin menjadi yang terkemuka di Asia Tenggara sederhananya maka kita harus lakukan apa yang dosen, mahasiswa disana telah lakukan. Mereka tidak hanya “diam” kalau dosennya enggak datang. Dosennya malu kalau bolos kuliah. Mereka secara swadaya maupun bersama-sama melakukan penelitian dan pengabdian. Mereka kerja keras, belajar keras siang dan malam. Meminjam adagium latin:

Ad astra per aspera

(Sampai ke bintang dengan jerih payah)

Pertanyaan, saran, dan kritikan dapat ditujukan ke: de.atjeher@yahoo.com

atau bisa menjumpai dan berdikusi langsung dengan yang bersangkutan di kampusnya.

Kalau kita maunya dengan yang begini-begini saja ya sudah kita akan terus begini. Kita akan menjadi manusia primitif yang tidak akan pernah sampai ke pintu kemajuan. Perubahan hanya bisa dilakukan kalau kita mengedepankan budaya berpikir kritis. Berpikir kritis membutuhkan syarat keberanian untuk merubah diri kearah yang lebih maju-progresif. Dasar berpikir kritis adalah selalu mempertanyakan (inquisitive minds). Berpikir kritis merupakan kebutuhan kita untuk mengembangkan diri. Kritislah kepada pemerintah, kritislah kepada lingkungan kita. Mahasiwa kritis kepada dosennya. Dosen kritis kepada mahasiswa. Tetapi dari semua itu yang terpenting jangan lupa untuk kritis pada diri sendiri. Sudahkah kita berpikir kritis . . ?

SP Instan Unsyiah: Kuliah Jadi Ajang Pembodohan

Artikel ini didasari atas sikap depth sense of crisis terhadap sistem pendidikan Unsyiah yang secara formal selalu didengungkan sebagai Jantong Hatee Rakyat Atjeh namun tulisan ini memperlihatkan sekelumit kenyataan bagaimana perlakuan kontraproduktif yang diterimanya.

U


nsyiah seakan mau mencatatkan dirinya di Museum Rekor Indonesia (MURI). Tercatat sebagai institusi pendidikan tinggi negeri yang paling cepat sekaligus paling banyak meluluskan mahasiswanya. Hal ini terlihat dari kebijakan Rektor dan teman-teman pejabat akademiknya tentang pelaksanaan Semester Pendek 2006/2007. Dari kebijakan tersebut memungkinkan mahasiswa mengambil mata kuliah yang biasanya harus diselesaikan dalam tempo 6 bulan (1 semester reguler) dan harus diambil dalam semester berjalan namun kini dapat diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya hanya dalam tempo 1 (satu) bulan saja tanpa harus pernah mengambil mata kuliah bersangkutan sebelumnya. Sistem tersebut dikenal dengan istilah Semester Pendek-selanjutnya disingkat SP. Ketentuan mengenai SP sebenarnya lebih merupakan sebuah kebijakan institusi bersangkutan dalam rangka melaksanakan pendidikan yang efektif dan efisien namun bukan berarti instan. Di Unsyiah preseden mengenai kebijakan SP sebelumnya menentukan bahwa mata kuliah yang dapat diambil di semester pendek hanyalah mata kuliah yang telah pernah diambil. Mahasiswa mengikuti mata kuliah SP hanya dan untuk dalam rangka perbaikan nilai bukan untuk instanisasi masa studi. Artinya dalam SP mahasiswa tidak diperbolehkan mengambil mata kuliah di depan. Semester pendek dijalankan guna membantu mahasiswa yang mungkin sewaktu mengambil mata kuliah bersangkutan di semester reguler mendapatkan hambatan, masalah ataupun memiliki banyak kesibukan yang menyebabkan kuliahnya terbengkalai akibatnya nilai akhirnya tidak memuaskan. Seringkali karena alasan sakit, banyak kegiatan internal/eksternal kampus ataupun karena ketiduran sehingga ada mahasiswa yang tidak ikut final test sehingga mendapat nilai akhir sisir (E). Atas dasar ini dan varian dari hal tersebutlah mengapa SP itu dimungkinkan untuk dilaksanakan. Sekali lagi ditekankan bahwa pelaksanaan SP adalah dalam rangka perbaikan nilai-kalau istilah mahasiswa pendalaman materi dan bukan untuk membuat kuliah jadi INSTAN. Tetapi dalam tahun ajaran 2006/2007 ini Unsyiah melalui Rektornya yang notabene orang pendidikan dan MANTAN PR I yang membidangi pendidikan membuat kebijakan yang kontroversial, inkonstitusional sekaligus cacat moral.

Kontroversial dikarenakan Rektor pasti tahu bagaimana seharusnya kebijakan di SP. Bagaimana mungkin ditengah keterpurukan pendidikan Aceh seperti sekarang ini masa studi kuliah malah dikarbitkan seperti layaknya pisang, mangga, maupun durian. Yang pasti bahwa yang namanya karbitan tidak pernah mengenakan. Sesuatu yang belum saatnya matang dipaksakan agar kelihatan matang akibatnya waktu dimakan eukh h h rasanya pahit, asam, asin . . . aneh !!!. Itulah karbitan !!!. Enam bulan pelaksanaan semester reguler dipaksakan ditelan dalam satu bulan. Kelihatan secara formal mahasiswanya mampu karena dapat nilai A, B, C ada juga seh yang dapat D atau bahkan E tetapi secara substansial eukh h h rasanya enggak enak-mahasiswa enggak siap pakai di dunia nyata.

PEMBODOHAN a.n PENDIDIKAN

Enam bulan pelaksanaan kuliah semester reguler sajapun dengan realita dimana perkuliahan sering bolong-dengan berbagai faktor penyebab menyebabkan mahasiswa belum secara optimal mendapatkan pengetahuan dan hak-hak pendidikannya bagaimana pula dengan masa studi SP yang hanya satu bulan itu. Emang perkuliahan dianggap pisang. Bukankah ini namanya PEMBODOHAN. Kuliah disamakan dengan pisang inilah PEMBODOHAN paling nyata sepanjang sejarah perjalanan panjang Unsyiah. PEMBODOHAN sedang terjadi Jantong Hatee Rakyat Atjeh. Inilah yang saya sebut dengan kontraproduktif kebijakan terhadap Unsyiah. Kebijakan Rektor mengenai SP tahun ini dimana mahasiswa diperkenankan mengambil mata kuliah di semester depan yang belum pernah diambilnya sebelumnya jelas-jelas menciderai conditio sine qua non dalam dunia pendidikan. Kita semua mahfum bahwa pendidikan itu perlu waktu, biaya dan tenaga. Pendidikan yang berhasil butuh kerja keras dan ketekunan. Namun sekarang Rektor dengan arogan seakan-akan ingin menolak tesis alam dunia pendidikan. Rektor seakan menjadi mahluk hipokrit. Rektor telah menciderai semboyannya sendiri. Mewujudkan pendidikan yang membumi dan melangit. Bagaimana mungkin kita bisa memijak bumi jika kuliah enam bulan dikarbit jadi 1 bulan. Bagaimana pula kita bisa menembus langit jika ilmu tersebut diberikan secara instan. Padahal dia adalah seorang Rektor yang tidak INSTAN. Menjadi Rektor butuh waktu, biaya dan tenaga. Menjadi mahasiswa maupun alumnus mahasiswa juga butuh waktu, biaya dan tenaga. Pendidikan kita butuh proses-butuh waktu. Pendidikan tidak bisa INSTAN layaknya mie instan yang tinggal seduh air panas tunggu beberapa menit langsung hap - disantap. Rektor dan teman-teman pejabat-pejabat akademiknya tahu betul itu. Tetapi kenapa mereka tetap ngotot mengeluarkan kebijakan itu.

UJUNG-UJUNGNYA UANG

Biaya uang kuliah semester pendek tahun ini naik tajam dari tahun sebelumnya. Sebelumnya 1 sks SP ditebus mahasiswa sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sementara untuk tahun ini untuk 1 (satu) sks harus ditebus mahasiswa sebesar Rp. 60.000,00 (enam puluh ribu rupiah) berarti naik 130 %. Amazing!!! Unsyiah masuk MURI lagi karena memecahkan rekor kenaikan uang SP tertinggi di Indonesia. Padahal Semester Pendek itu sendiri hanya dilaksanakan 1 (satu) bulan dengan durasi 8x pertemuan untuk satu mata kuliah yang bobotnya 2 sks. Jadi enam bulan kuliah dalam satu semester untuk satu mata kuliah digadaikan dengan UANG RP. 60.000,00 (ENAM PULUH RIBU RUPIAH) dalam Semester Pendek. Benar-benar karena UANG.

SELAMAT ATAS LAHIRNYA NARROW MINDED STUDENTS

Secara ontologis sebenarnya skenario pendidikan seperti itu benar-benar tidak mencerdaskan mahasiswa malah sebaliknya membodohi. Dengan sistem SP seperti ini mahasiswa dipaksa hanya pintar secara formal bukan substansial. Mahasiswa digiring untuk berpikir pragmatis, secepatnya selesai kuliah dengan Magna Cumlaude, benar-benar dikondisikan pure conventional study oriented singkatnya be narrow minded student-diciptakan menjadi mahasiswa yang berpikiran sempit. Pikiran mahasiswa cuma dijejali dengan nilai bagus, IPK tinggi, cumlaude, dan segera wisuda. Setiap harinya mahasiswa dihantui oleh semua itu dan seakan ingin segera keluar dari nightmare itu mereka pun dengan nurut, manut bayar SP kuliah instan yang walaupun mahal yang penting bayar tetapi apa yang didapat entah . . . Alasan yang disodorkan kenapa sistem SP seperti ini dibuat semata-mata agar beban negara berkurang karena mahasiswa cepat selesai dan/atau manusia-manusia lain dapat mengenyam bangku perkuliahan juga. Dengan alasan yang kesannya dibuat-buat itu mahasiswa ”diusir” dari kampusnya. Nah kalau sudah seperti itu maka mahasiswa juga balik bertanya kita mau lulus cepat namun tidak berkualitas atau lulus standar namun high skill. Setiap mahasiswa mempunyai hak yang sama untuk menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya. Bukankah pula merupakan kewajiban negara untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan sesuai amanah konstitusi. Please . . . mahasiswa jangan lagi dibodohi.

AUTOKRITIK BUAT KITA SEMUA

Mahasiswa pergi kuliah guna menuntut ilmu dan mereka berproses terhadap keilmuannya that takes time-butuh waktu. Terlebih bagi mahasiswa yang mendalami studi terapan dan butuh praktikum automatically mereka membutuhkan waktu yang lebih banyak. Dosen yang mengajar juga memahami bahwa merupakan mission impossible untuk memberikan materi kuliah yang begitu kompleks hanya dalam waktu satu bulan. Rektor, PR I, Dekan, PD I dan siapapun pejabat kampus yang telah melahirkan kebijakan canibal seperti ini harus berani dikritik dan meminta maaf kepada rakyat Aceh karena telah membuat sakitnya Jantong Hatee Rakyat Atjeh semakin parah. Akibat kanibalisme pendidikan yang seperti itu membuat sakitnya Jantong Hatee Rakyat Atjeh semakin parah. Tetapi dibutuhkan perenungan mendalam serta sikap kritis, tajam, dan jujur guna dapat menjalankan prinsip autokritik tersebut.

Thursday, November 17, 2005

It's About de Jurist Muda

16 nop. 05 22.10 wib aku baru menyelesaikan pengiriman file ke panitia Moot Court Competition di Unpad. Esok pagi dipastikan aku dan kawan2 akan berangkat meninggalkan Aceh guna menuju Bandung dimana MCC kali ini diselenggarakan.
I hope everything always in the channel. God bless us !